PRAMAKALAH
KELOMPOK
Pembentukkan
Karakter Anti-Korupsi untuk Membangun Citra Negara Agraris dengan Terlaksananya
Kemandirian Pangan
Oleh
Kelompok 10 :
1.
Nabilah Prabawati ‘Aini (A24140017)
2.
Yeshika Ayucitra Cendana (B04140065)
3.
Louisa Intan Aryani (B04140084)
4.
Rafli Luhur Budi Utomo (C24140056)
5.
Nevi Veni Riantin (E24140004)
6.
Alifia Tamima Mawar Hadi Putri (E44140090)
Pembimbing :
Kelas
: Jum’at, 09.00-10.40 WIB
Ruang
: 2.03
Direktorat
Tingkat Persiapan Bersama
Institut Pertanian Bogor
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah negara
agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau
bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting
dalam kesejahteraan hidup penduduk Indonesia. Negara agraris
merupakan negara yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan,
peternakan, dan perikanan. Kondisi alam Indonesia memberikan peluang bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha di bidang
pertanian maupun yang berkaitan dengan sektor pertanian. Hal ini menyebabkan bidang pertanian harus dapat memacu
diri untuk dapat meningkatkan produk pertaniannya, khususnya produk pertanian
tanaman pangan.
Dalam
konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit,
karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia.
Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki
posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun
Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama
beras. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di
mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah
China dan India. Sedangkan Vietnam dan Thailand yang memiliki hasil produksi
beras lebih sedikit dari Indonesia, justru merupakan negara eksportir beras.
Selain
beras, bahan pokok lainnya seperti kedelai, tepung, cabai, bawang merah,
singkong, daging sapi dan hortikultura pun harus diimpor dari luar negeri. Hal
ini sangat memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang
kaya akan sumber daya alam yang melimpah.
Indonesia
sering kali tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya dan cenderung melakukan
impor yang justru menimbulkan tindakan-tindakan penyelewengan seperti korupsi. Korupsi merupakan
sebuah masalah pelik yang tiada habisnya diperbincangkan di negeri rupiah ini.
Mulai dari pemahaman mengenai apa itu korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi
sampai pada sanksi hukum tindakan korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke
waktu itu belum berbuah maksimal. Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek
korupsi di lingkungan sekitar. Bahkan sejujurnya, korupsi sudah dilakukan
secara terang-terangan dan sangat merugikan rakyat.
1.2
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan
citra negara Indonesia sebagai negara agraris dalam kemandirian pangan,
menciptakan pribadi anti-korupsi untuk kemandirian pangan, serta mengetahui
cara pembentukan karakter anti-korupsi.
1.2 Pembatasan
masalah
Agar penulisan lebih fokus dan tidak meluas dari
pembahasan yang dimaksud, dalam makalah ini penulis membatasinya pada ruang
lingkup citra negara Indonesia sebagai negara agraris dalam kemandirian pangan,
pentingnya pembentukan karakter anti-korupsi, cara menerapkan pembentukan karakter
anti-korupsi sejak dini, dan pengaruh pembentukan karakter anti-korupsi
terhadap pemulihan citra negara agraris.
1.4 Pengertian
BAB
II
PERMASALAHAN
2.1 Permasalahan
Umum
Sebelum
mengalami krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia merupakan negara yang sempat
menjadi model pembangunan ekonomi yang
bekelanjutan khususnya untuk Negara sedang berkembang dengan pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik. Sebagai negara yang disebut-sebut sebagai negara
agraris, sudah pasti sektor pertanianlah yang menjadi sorotannya. Membangun
pertanian adalah membangun citra dan kedaulatan Indonesia menuju kejayaan yang
pernah disandang oleh Indonesia sebagai Negara agraris yang kuat, kaya dengan
sumber daya dan hasil pertanian yang berkualitas tinggi di mata internasional.
Sekarang yang menjadi persoalannya adalah bagaimana cara membangun dan
membangkitkan gairah untuk membangun sektor pertanian tersebut.
Sesungguhnya pertanian merupakan bidang yang paling potensial
dalam menyerap tenaga kerja. Persoalannya adalah bagaimana membuat pasar tenaga
kerja pertanian tersebut diisi oleh orang-orang yang benar-benar potensial,
mempunyai visi dan insting bisnis yang kuat sehingga dapat menggerakkan
investasi besar di bidang pertanian. Persoalan tersebut harus dihadapi
Indonesia untuk membuat pertanian menjadi ladang investasi dan jaminan masa
depan yang menarik memang cukup berat. Sungguh ironis bahwa sekarang ini lebih
mudah untuk menemukan apel Washington, jeruk dari China, beras dari Vietnam,
dan lain-lain di pasar tradisional dibanding dengan menemukan produk buah
eksotis lokal, misalnya sawo.
Dukungan dari pemerintah kepada para petani sangatlah kecil.
Para petani dipaksa untuk bekerja terlalu keras, sementara disisi lain
barang-barang impor sangat mudah ditemukan. Permasalahan ini membuat citra
negara agraris yang dimiliki Indonesia menjadi hilang. Belum lagi adanya impor
justru memperparah tindakan korupsi.
2.2 Permasalahan
Khusus
Indonesia
sebagai negara agraris diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan warga
negaranya dari produksi dalam negeri. Sebagai negara agraris, harusnya
perkembangan pertanian di Indonesia maju. Kenyataanya, Indonesia masih
mengimpor pangan dari luar negeri. Jadi, pernyataan bahwa negara Indonesia
adalah negara agraris patut dipertanyakan.
Selain itu,
maraknya kasus bahan pangan impor seperti beras Vietnam yang tidak lolos
verifikasi dan apel dari Amerika Serikat yang mengandung bakteri berbahaya
dengan mudahnya masuk Indonesia. Dalam kasus ini pejabat yang berwenang dalam
bidang impor bahan pangan kinerjanya dipertanyakan. Siapa
yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan
yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan kejujuran?
Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti.
Menyikapi
fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan
pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang
gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter
antikorupsi pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada
tahun ajaran 2011. Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk
dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru
yang telah diberi pelatihan bagaimana mengajarkan pendidikan karakter
antikorupsi. Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara
bertahap.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Citra
Negara Indonesia sebagai Negara Agraris dalam Kemandirian Pangan
3.2 Pentingnya
Pembentukan Karakter Antikorupsi
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, arah
pendidikan nasional dinyatakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kata
“cerdas” sering kali dianggap tidak mencakup aspek moralitas.
Sejatinya istilah
mencerdaskan meliputi penyempurnaan akal budi, nalar, watak, dan bahkan fisik.
Perkembangan psikologi kognitif dewasa ini menunjukkan bahwa ranah kecerdasan
yang sebelumnya seolah sebatas intelegensi (intelligence
quotient/IQ), kini meluas hingga pada kecerdasan emosional (emotional quotient/EQ) dan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient/SQ).
Malah Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul ‘Multiple Intelligence’ memperkenalkan kecerdasan majemuk yang
terdiri atas tujuh jenis intelegensi, yaitu intelegensi musik, kinestik,
logis-matematis, linguistik, spasial, interpersonal, dan intrapensonal (dalam
Tilaar, 2000).
Hasil jajak
pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden pada 27 Mei 2010
menunjukkan sebanyak 87% responden beranggapan perlunya memasukkan pendidikan
antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir
200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa
berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia (Djabbar, 2009).
3.3 Cara
Menerapkan Pembentukan Karakter Antikorupsi Sejak Dini
Pendidikan antikorupsi bagi siswa mengarah pada
pendidikan nilai, yaitu nilai-nilai kebaikan. Suseno (dalam Djabbar, 2009)
berpendapat bahwa pendidikan yang mendukung orientasi nilai adalah pendidikan
yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan
marah bila ia menyaksikannya. Menurut Suseno, ada tiga sikap moral fundamental
yang akan membuat orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi. Ketiga sikap
moral fundamental tersebut adalah kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung
jawab.
Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi,
menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan
bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu
belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi
segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis (dalam Djabbar, 2009)
mengatakan bahwa bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik.
Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Sikap moral yang selanjutnya dibutuhkan adalah
rasa tanggung jawab. Tanggung jawab berarti teguh hingga
terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya,
siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya.
Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin
menyukseskan kegiatan olahraga.
Dalam tataran teori, pendidikan
karakter antikorupsi diharapkan dapat menjanjikan bagi menjawab persoalan
korupsi di Indonesia di masa mendatang. Namun dalam tataran praktik, seringkali
terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan
karakter antikorupsi haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya.
Menurut Suratno, pendidikan karakter menjadi sangat penting diakibatkan oleh
tiga hal:
a. Secara umum, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa
ditandai oleh tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan.
b. Dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying, tawuran antar pelajar, kelemahan sistem kurikulum dan
proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter bangsa.
c. Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sejak
kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama
kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan pangan, serta kepribadian dalam
budaya.
Pentingnya
pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden Soekarno bahwa tidak
ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. merumuskan UU No.
4/1950 bahwa pendidikan harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation and character building karena masyarakat Indonesia
mengalami kerusakan mental yang parah akibat penjajahan. Tahun 1965 Soekarno
memutuskan Pancasila sebagai dasar Sistim Pendidikan Nasional dan menjadi
pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Pergurutan Tinggai. Keputusan ini
lalu dipertegas Presiden Soeharto di tahun 1967.
Sejak
terpilih beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya revolusi
mental. Di bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan Karakter yang
belum lama digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum 2013 (K-2013).
K-2013 yang relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara konseptual
mengandung menekanan pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga afektif,
motorik dan social-skill sehingga bila dilaksanakan dengan baik dan benar bisa
mendorong pembentukan karakter di sekolah.
Pusat
Kurikulum Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan karekter ini, yang
melalui empat hal yakni pembelajaran (teaching), keteladanan (modelling),
penguatan (reinforcing) dan pembiasaan (habituating).
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama yakni:
agama, budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan. Kemendikbud juga telah
menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan karakter yakni relijius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri, demokratis, ingin-tahu,
semangat-kebangsaan, cinta-tanah-air, menghargai-prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca, peduli-lingkungan,
peduli-sosial, dan tanggung-jawab.
Di
level sekolah guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan karakter
karena mereka yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru sesuai asal
katanya di gugu (dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan) memegang peranan
penting. Sayangnya profil guru baik dari profesionalitas, kompetensi,
kesejahteraan dan pemerataan guru antara kota dan desa masih belum baik. Hal
ini harus segera di perbaiki kemendikbud di bawah menteri baru Anies Baswedan.
3.4 Pengaruh
Pembentukan Karakter Antikorupsi terhadap Kemandirian Pangan
Selain
itu disadari bahwa bagaimanapun pendidikan karakter ini haru dalam koridor
revolusi mental yang sudah digagas Jokowi-JK. Oleh karena itu, pendidikan
karakter akan saling terkait dengan aspek lainnya dalam kehidupan bernegara
seperti agama, budaya, sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu
pendidikan karakter di sekolah saja tidak cukup. Porsi yang besar justru dari
keluarga dan masyarakat. Pembentukan karakter mensyaratkan sistim politik yang
sehat, penegakkan hukum yang adil, kesejahteraan masyarakat yang makin merata
dan penghargaan masyarakat atas nilai, norma dan konsititusi yang sudah
disepakati bersama.
Joko
Widodo, presiden Indonesia periode 2014-2019 juga menegaskan bahwa program
pendidikan karakter tidak hanya akan dilaksanakan dalam dunia pendidikan kepada
siswa dan generasi muda calon pemimpin bangsa. Namun, program pembentukan
karakter khususnya pembentukan karakter antikorupsi akan dilaksanakan di dunia
politik pemerintahan dengan target pejabat-pejabat di semua bidang. Dalam hal
ini, khususnya pejabat atau wakil rakyat yang bertanggung jawab dalam bidang
ekspor-impor dan bea cukai yang akhir-akhir ini dipertanyakan kinerjanya karena
dengan mudahnya bahan pangan impor tidak layak yang masuk ke Indonesia, seperti
beras asal Vietnam yang tidak lulus verifikasi dan apel dari Amerika Serikat
yang mengandung bakteri berbahaya.
Dengan
diterapkannya pembentukan karakter antikorupsi terhadap pejabat yang berwenang,
diharapkan dapat memberantas adanya kasus korupsi maupun suap dalam hal impor
bahan pangan. Hal ini juga diharapkan dapat meminimalisir impor bahan pangan
dan dapat mewujudkan kemandirian pangan Indonesia. Dengan terwujudnya
kemandirian pangan dapat membangun kembali citra negara Indonesia sebagai
negara agraris.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Meskipun
Indonesia terkenal sebagai negara agraris namun kenyataannya Indonesia belum
mampu memenuhi kebutuhan pangan negaranya dan masih menggantungkan bahan pangan
impor dari negara asing. Maraknya kasus mudahnya bahan pangan impor yang tidak
layak serta tidak lolos verifikasi masuk ke Indonesia, kinerja para pejabat
terkait dipertanyakan. Dengan adanya program pembentukan karakter antikorupsi
diharapkan dapat memberantas adanya korupsi bidang impor bahan pangan dan dapat
memaksimalkan kemandirian pangan Indonesia. Dengan terwujudnya kemandirian
pangan, maka citra bangsa Indonesia sebagai negara agraris akan terbagun
kembali.
4.2 Saran
Saran yang
penulis usulkan agar dapat memulihkan citra bangsa Indonesia sebagai negara
agraris adalah:
a. Pembentukan
karakter khususnya pendidikan karakter antikorupsi tetap diterapkan dalam
kurikulum pembelajaran agar generasi muda calon pengemban amanah banga
mempunyai prinsip antikorupsi sejak dini.
b. Meminimalisir
impor bahan pangan dan mulai menyemarakkan program kemandirian pangan dengan
memajukan pertanian Indonesia.
c. Program
pendidikan karakter antikorupsi tidak hanya dipelajari dalam jenjang pendidikan
namun juga diberikan kepada pejabat maupun calon-calon pejabat yang berwenang
dalam bidang impor bahan pangan agar kasus korupsi dan penyuapan impor bahan
pangan dapat diminimalisir.